“Indonesia Lakukan Konservasi Lingkungan dalam ASEAN Eco-Leaders” (Liputan6 SCTV)
http://news.liputan6.com/read/704668/indonesia-lakukan-konservasi-lingkungan-dalam-asean-eco-leaders
Peserta Asal Indonesia dalam AYVP 2013 |
Liputan6.com, Citizen6, Malaysia: ”Membuat perubahan tidak melulu hal yang besar, justru perubahan besar berasal dari hal-hal yang kecil. Hal inilah yang saya dapatkan dari ASEAN Youth Volunteer Programme yang saya ikuti ini,” ujar Andreas Nathius.
Alumnus Manajemen Universitas Indonesia ini merupakan salah satu delegasi dalam ASEAN Youth Eco-Leaders yang berkumpul bersama 99 pemuda dari negara-negara ASEAN lainnya selama lima minggu. Program intensif ini bertujuan untuk menghasilkan pemimpin muda berwawasan lingkungan ketika mereka terjun di masyarakat. Kesuksesan program ini karena adanya dukungan dan kerjasama dari U.S. Agency for International Development (USAID), ASEAN Secretariat dan Ministry of Youth and Sports Malaysia.
Program yang diinisiasi oleh Asia Engage – Universiti Kebangsaan Malaysia ini diikuti oleh 98 pemuda dari 10 negara ASEAN. Eco-leaders, sebutan bagi para peserta program ini berasal dari latar belakang pendidikan dan social yang berbeda. Program yang berlangsung sejak 15 Agustus – 21 September 2013 mengikutsertakan mahasiswa-mahasiswa di tingkat S1, S2, dan bahkan S3 yang mampu belajar mengenai konservasi lingkungan hidup dan sebagian merupakan professional worker yang lebih melihat pada implementasi kebijakan lingkungan hidup yang mereka hadapi di negara masing-masing.
Mengapa memilih pemuda sebagai sasaran program ini? Dengan range usia 18-30 tahun, para pemuda memiliki sifat idealis dan kritis terhadap tantangan transformasi lingkungan hidup. Eco-leaders inilah yang diharapkan mampu untuk memberikan dampak positif bagi tantangan lingkungan hidup yang sedang melanda Negara mereka.
Mengapa memilih pemuda sebagai sasaran program ini? Dengan range usia 18-30 tahun, para pemuda memiliki sifat idealis dan kritis terhadap tantangan transformasi lingkungan hidup. Eco-leaders inilah yang diharapkan mampu untuk memberikan dampak positif bagi tantangan lingkungan hidup yang sedang melanda Negara mereka.
Proses seleksi Eco-Leaders ini sangat kompetitif. Lebih dari 800 aplikasi masuk ke dalam email penyelenggara, namun hanya 100 Eco-Leaders terpilih yang lolos dalam program ini. Ketigabelas delegasi Indonesia dalam ASEAN Eco-leaders adalah Andreas Nathius, Bambang Sutrisno, Ajanti Parwito, Sri Rizki Kesuma Ningrum, Rida Nurafiati, Ricky Sudiarto Putra, Qitbiya Ilhami Bachri, Aulia, Ewan Darmawan, Trini Yuni Pratiwi, Sujardin Syarifudin, Jepri Ali Saiful dan Rindha Devie.
Minggu pertama program diadakan di Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi Selangor untuk lebih mendekatkan Eco-Leaders terhadap isu-isu lingkungan yang sedang terjadi di ASEAN. Hal ini untuk memberikan pemahaman dasar bagi Eco-Leaders sebelum mereka terjun ke project site yang dibagi dalam empat lokasi yang masing-masing ditempatkan 25 orang Eco-leaders, yaitu Kuala Selangor Nature Park (KSNP)-Selangor, Kampung Dew-Perak, Setiu Wetland-Terengganu, dan Mersing-Johor.
“Di Kuala Selangor, saya belajar bagaimana NGO mengelola sebuah taman alam, belajar ecotourism, menciptakan alat peraga pendidikan lingkungan yang kreatif dan menarik bagi siswa dan pengunjung dengan metode CEPA (Creative, Education, Participation and Awareness) yang dikembangkan oleh Malaysian Nature Society,” ujar Bambang Sutrisno, Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Indonesia.
Setiap project site memiliki fokus yang berbeda terhadap isu lingkungan hidup. Di Kampung Dew lebih terfokus pada pelestarian kunang-kunang yang saat ini sudah jarang sekali ditemukan. “Saya membangun pariwisata berbasis ecotourism yang mendukung pelestarian kunang-kunang yang menjadi daya tarik Kampung Dew. Saya bekerja sama dengan peserta dari 10 negara ASEAN membuat media promosi seperti blog, pamphlet, brosur yang disebarkan secara nasional dan internasional. Tidak hanya itu, kami mencoba untuk terlibat dengan masyarakat sekitar dengan mengajarkan manajemen pembuatan kompos dan daur ulang, mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak dan memberikan seminar lingkungan kepada siswa sekolah menengah di Taiping,” tambah Andreas.
Menurut Jepri Ali Saiful, Eco-Leaders yang ditempatkan di Setiu Wetland, Terengganu, proyek mereka lebih terfokus pada pendidikan lingkungan hidup dan bekerjasama dengan 12 guru SD-SMA di Setiu, Terengganu untuk membuat buku peraga pendidikan lingkungan. Buku yang berjudul “Bersama Mencintai Lingkungan” ini menggunakan bilingual yaitu bahasa Inggris dan bahasa Melayu. “Dengan pengalaman itu aku akan mengaplikasikan konsep cinta lingkungan dalam bidang pendidikan. Didukung dengan latar belakangku di bidang pendidikan bahasa Inggris, aku yakin bisa memupuk konsep cinta lingkungan sejak dini kepada anak dengan membuat buku bertema lingkungan,” ujar mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya ini. Menariknya, Eco-leaders di Setiu ini berkesempatan memecahkan rekor melukis batik di atas kain seluas 1000 meter.
Proyek yang dilakukan Eco-leaders di Mersing ini terbilang sangat bervariasi. Mulai dari membangun trashcollection center yang terbagi atas tiga jenis yaitu permanen (dibangun dari semen dan batako), semi permanen (dibuat dari aluminium), dan mobile (dibuat dari pipa pvc dan jaring yang dapat dibongkar pasang); membuat program dan The Handbook of Eco-Warrior yang menggunakan bilingual untuk anak-anak Sekolah Kebangsaan Tanjung Resang dan Sekolah Kebangsaan Penyabong; mengidentifikasi biodiversitas daerah pesisir dan melakukan beach awareness dengan memberikan poster edukasi mengenai pentingnya menjaga spesies di laut kepada masyarakat dan wisatawan di daerah Mersing, Johor.
Walaupun sinyal telepon dan internet di daerah ini cukup susah dijangkau, namun tidak menjadi kendala bagi Eco-leaders yang ditempatkan di Mersing. Setiap minggunya mereka berpindah tempat, mulai dari Kampung Penyabong, Kampung Tanjung Resang dan Kampung Air Papan. Maka dari itu, Eco-leaders di Mersing memiliki kesempatan besar untuk berinteraksi dengan warga setempat dengan belajar memasak murtabak, melukis dinding (mural) dan membuat handicraft dari koran bersama.
“Pertama kalinya dalam seumur hidup, saya mengaduk semen, menggergaji kayu dan itu saya lakukan bersama teman-teman dari 10 negara ASEAN. Benar-benar pengalaman tak terlupakan,” ujar Rida Nurafiati, mahasiswi Akuntansi, Universitas Gadjah Mada yang juga aktif dalam Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI). Hal menarik lainnya menurut Trini, “Ternyata menjadi seorang translator bahasa Melayu itu susah, karena bahasa Melayu dan bahasa Indonesia jauh berbeda,” tambahnya.
Lalu apa yang akan Eco-leaders ini lakukan sepulang dari program? “Saya berencana ingin mengembangkan pendidikan lingkungan menggunakan metode CEPA bersama Rizki (Mahasiswi Sastra Jerman UI) melalui sekolah-sekolah yang ada di Jabodetabek,” ungkap Bambang, yang merupakan Campaign and Research Coordinator, Teens Go Green.
Pesan dari Eco-Leaders untuk pemuda Indonesia adalah jagalah lingkunganmu sebanding dengan kamu menjaga dan mempercantik dirimu. Be the agent of change, start from ourselves! (Rida Nurafiati/Arn)
Minggu pertama program diadakan di Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi Selangor untuk lebih mendekatkan Eco-Leaders terhadap isu-isu lingkungan yang sedang terjadi di ASEAN. Hal ini untuk memberikan pemahaman dasar bagi Eco-Leaders sebelum mereka terjun ke project site yang dibagi dalam empat lokasi yang masing-masing ditempatkan 25 orang Eco-leaders, yaitu Kuala Selangor Nature Park (KSNP)-Selangor, Kampung Dew-Perak, Setiu Wetland-Terengganu, dan Mersing-Johor.
“Di Kuala Selangor, saya belajar bagaimana NGO mengelola sebuah taman alam, belajar ecotourism, menciptakan alat peraga pendidikan lingkungan yang kreatif dan menarik bagi siswa dan pengunjung dengan metode CEPA (Creative, Education, Participation and Awareness) yang dikembangkan oleh Malaysian Nature Society,” ujar Bambang Sutrisno, Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Indonesia.
Setiap project site memiliki fokus yang berbeda terhadap isu lingkungan hidup. Di Kampung Dew lebih terfokus pada pelestarian kunang-kunang yang saat ini sudah jarang sekali ditemukan. “Saya membangun pariwisata berbasis ecotourism yang mendukung pelestarian kunang-kunang yang menjadi daya tarik Kampung Dew. Saya bekerja sama dengan peserta dari 10 negara ASEAN membuat media promosi seperti blog, pamphlet, brosur yang disebarkan secara nasional dan internasional. Tidak hanya itu, kami mencoba untuk terlibat dengan masyarakat sekitar dengan mengajarkan manajemen pembuatan kompos dan daur ulang, mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak dan memberikan seminar lingkungan kepada siswa sekolah menengah di Taiping,” tambah Andreas.
Menurut Jepri Ali Saiful, Eco-Leaders yang ditempatkan di Setiu Wetland, Terengganu, proyek mereka lebih terfokus pada pendidikan lingkungan hidup dan bekerjasama dengan 12 guru SD-SMA di Setiu, Terengganu untuk membuat buku peraga pendidikan lingkungan. Buku yang berjudul “Bersama Mencintai Lingkungan” ini menggunakan bilingual yaitu bahasa Inggris dan bahasa Melayu. “Dengan pengalaman itu aku akan mengaplikasikan konsep cinta lingkungan dalam bidang pendidikan. Didukung dengan latar belakangku di bidang pendidikan bahasa Inggris, aku yakin bisa memupuk konsep cinta lingkungan sejak dini kepada anak dengan membuat buku bertema lingkungan,” ujar mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya ini. Menariknya, Eco-leaders di Setiu ini berkesempatan memecahkan rekor melukis batik di atas kain seluas 1000 meter.
Proyek yang dilakukan Eco-leaders di Mersing ini terbilang sangat bervariasi. Mulai dari membangun trashcollection center yang terbagi atas tiga jenis yaitu permanen (dibangun dari semen dan batako), semi permanen (dibuat dari aluminium), dan mobile (dibuat dari pipa pvc dan jaring yang dapat dibongkar pasang); membuat program dan The Handbook of Eco-Warrior yang menggunakan bilingual untuk anak-anak Sekolah Kebangsaan Tanjung Resang dan Sekolah Kebangsaan Penyabong; mengidentifikasi biodiversitas daerah pesisir dan melakukan beach awareness dengan memberikan poster edukasi mengenai pentingnya menjaga spesies di laut kepada masyarakat dan wisatawan di daerah Mersing, Johor.
Walaupun sinyal telepon dan internet di daerah ini cukup susah dijangkau, namun tidak menjadi kendala bagi Eco-leaders yang ditempatkan di Mersing. Setiap minggunya mereka berpindah tempat, mulai dari Kampung Penyabong, Kampung Tanjung Resang dan Kampung Air Papan. Maka dari itu, Eco-leaders di Mersing memiliki kesempatan besar untuk berinteraksi dengan warga setempat dengan belajar memasak murtabak, melukis dinding (mural) dan membuat handicraft dari koran bersama.
“Pertama kalinya dalam seumur hidup, saya mengaduk semen, menggergaji kayu dan itu saya lakukan bersama teman-teman dari 10 negara ASEAN. Benar-benar pengalaman tak terlupakan,” ujar Rida Nurafiati, mahasiswi Akuntansi, Universitas Gadjah Mada yang juga aktif dalam Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI). Hal menarik lainnya menurut Trini, “Ternyata menjadi seorang translator bahasa Melayu itu susah, karena bahasa Melayu dan bahasa Indonesia jauh berbeda,” tambahnya.
Lalu apa yang akan Eco-leaders ini lakukan sepulang dari program? “Saya berencana ingin mengembangkan pendidikan lingkungan menggunakan metode CEPA bersama Rizki (Mahasiswi Sastra Jerman UI) melalui sekolah-sekolah yang ada di Jabodetabek,” ungkap Bambang, yang merupakan Campaign and Research Coordinator, Teens Go Green.
Pesan dari Eco-Leaders untuk pemuda Indonesia adalah jagalah lingkunganmu sebanding dengan kamu menjaga dan mempercantik dirimu. Be the agent of change, start from ourselves! (Rida Nurafiati/Arn)
Tags : Features Pemuda Relawan Teknik Lingkungan Untuk Indonesia
Post a Comment